WIWIN DONGENG MANAGEMENT

Monday, August 18, 2008

Langit makin mendung



Apakah benar bangsa kita adalah bangsa besar? Apakah benar bangsa kita adalah bangsa yang mengedepankan kebersamaan dan gotong royong? Apakah benar bangsa kita adalah bangsa yang mempunyai toleransi tinggi demi sebuah persatuan? Jawabnya, aku meragukan semua itu.

Pada saat masih kecil aku melihat (dalam jangkauan yang sangat terbatas) dan mendengar banyak doktrin yang mengatakan bahwa negara kita adalah Negara yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja. Namun kini aku meragukan (lagi-lagi meragukan) setelah melihat kenyataan yang ada di lapangan. Gemah ripah iya namun hanya untuk segelintir golongan masyarakat dan investor asing. Apalagi sejahtera, masih akan jauh dari jangkauan masyarakat kebanyakan. Mungkin sekarang semakin jauh dari harapan tersebut. Era reformasi yang diharapkan berbuah pemerataan rejeki ternyata tidak terbukti. Para pejabat dan politisi yang diharapkan bisa membawa angin perubahan malah tidak terkendali dalam melakukan korupsi. Etika tidak lagi sakti. Mereka berlomba-lomba memperkaya diri sendiri dan golongan mumpung masih ada kesempatan. Yang jujur hancur terlindas keserakahan membabi buta.

Tanda-tanda jaman mulai muncul namun dipersetankan. Alam hancur, perekonomian hancur, masyarakat kecil hancur, pendidikan hancur. Tidak ada lagi yang tersisa dari semangat kebangkitan nasional. Pemimpin besar yang dijanjikan tak jua muncul. Yang terjadi malah wolak waliking jaman. Yang benar jadi salah, yang salah jadi benar. Kasus Lapindo, kasus pahlawan reformasi, kasus Munir, kasus BLBI, kasus PSSI dan kasus-kasus lainnya semua jadi terbolak balik. Tanda-tanda keadilan semakin jauh. Hidup jadi tidak menentu. Tidak lagi ada kepastian dalam segala bidang. Langit semakin muram.

Pada saat semua Negara mulai berbenah setelah krisis moneter, Indonesia justru semakin terpuruk. Semua pemimpin mengobral janji tentang keberhasilan namun bungkam ketika menjabat. Nafsu akan kekuasaan membutakan mereka. Bukan lagi tanggung jawab jadi dasar namun keserakahan jadi motivasi.

Rakyat semakin tercekik oleh keadaan. Penghasilan tidak menentu sedang harga-harga pokok semakin melambung dengan pasti. Rakyat tidak berdaya. Kemiskinan bertambah. Anak-anak dibawah umur semakin banyak turun kejalan untuk membantu orang tua mereka mencari nafkah. Namun kepengecutan atau ketidakberdayaan lagi-lagi diperlihatkan para penguasa. Bukannya diayomi, mereka malah dikejar-kejar dan dibatasi ruang geraknya dijalanan. Perda pelarangan mengamen, mengasong pun mulai bermunculan. Rakyat semakin sulit bernafas. Konstitusi yang menjamin para fakir miskin dan anak yatim dilindungi Negara jadi jargon kosong. Cuma bahan pelengkap pelajaran sekolah.

Ketika lowongan kerja semakin terbatas (diantaranya banyak investor lari karena tidak adanya kepastian hukum yang melindungi mereka dari iklim berinvestasi), masyarakat yang punya sedikit kemampuan mulai survive dengan berusaha secara mandiri. Mulai dari menjadi Pedagang Kaki Lima sampai dengan merangkai bunga mereka kerjakan. Yang penting dapur ngebul, dandang tidak terguling. Apapun asal halal, the show must go on. Namun apa yang terjadi? Apakah mereka mendapat bantuan kredit lunak? Apakah mereka mendapat bimbingan dari departemen terkait? Apakah mereka mendapat lokasi strategis dari pemerintah demi perkembangan usahanya? Tidak!!! Mereka malah dibasmi, dihancurkan keberadaannya. Penggusuran yang kita kira tidak bakal ada lagi diera reformasi malah marak dimana-mana. Di Jakarta yang merupakan pintu gerbang Indonesia tidak lagi malu-malu melakukan kebijakan barbar tersebut. Tidak lagi ada kompromi, tidak lagi ada dialog. Yang ada hanya satu kata, GUSUR!!!. Lebih ironis lagi rakyat disatu pihak dalam hal ini pedagang dibenturkan dengan sesama rakyat yang lain dalam hal ini petugas Trantib. Sementara itu pemodal kuat ramai-ramai menjajah dengan ide konsumerisme yang dikemas amat memikat. Carefour, Giant, Super Mall muncul bak jamur dimusim hujan. Masyarakat dinina bobokan. Uang masyarakat tersedot habis namun tetap tersenyum karena merasa diorangkan, dilayani dengan manusiawi dan tempat ber”AC”. Semua sama-sama mahfum. Selamat datang dipasar-pasar modern. Good Bye pasar-pasar tradisionil yang kumuh. Ketika tengadah ke langit aku melihat langit semakin gelap.

Mengamati segala kemungkinan yang akan dan bakal terjadi, dadaku berdegup kencang. Seakan berjalan disebuah labirin, kita tidak tahu apa yang terjadi di depan. Semua berubah dengan cepat. Masyarakat belum lagi sempat teriak, sudah muncul hal baru yang semakin memuakkan. Hari-hari belakangan ini kita mendengar kabar BBM akan naik bulan depan. Aku tidak lagi bisa berfikir dengan jernih. Tanganku terasa kelu, jari-jariku sulit menghitung beban tagihan yang mesti harus dibayar. Mataku berkunang-kunang. Samar-samar antara sadar dan tidak, kudengar hujan turun dengan lebat di luar. Kilat dan petir bersaut-sautan. Langit pekat.

Kampung Tengah, 13 Mei 2008
01.00 wib

No comments: