WIWIN DONGENG MANAGEMENT

Saturday, January 31, 2009

Internet Fever


Melalui media tulisan segala hal yang tadinya cuma bisa diketahui diri sendiri atau orang-orang dilingkup yang terbatas bisa diakses oleh semua orang. Orang bisa tahu keinginan-keinginan atau harapan-harapan terpendam yang coba untuk di bagi dan ditularkan kepada pembacanya. Sebuah tulisan kadang bisa jadi penyemangat atau inspirasi bagi orang lain yang stagnant dan butuh jalan keluar. Namun sebuah tulisan bisa juga jadi pisau tajam yang setiap saat dapat melukai, apalagi bila pisau tersebut bermata dua alias ambigu.
Sebuah tulisan untuk bisa dinikmati pembaca juga melewati perkembangan yang cukup cepat. Dahulu orang untuk menyampaikan maksud dan harapannya harus lewat forum tertentu atau media cetak, baik itu Koran atau majalah yang belum tentu bisa mengcover semua lantaran space yang terbatas. Pun hanya orang dengan kualifikasi tertentu saja yang mendapat porsi di media. Para pemula yang notabene mungkin memiliki potensi yang besar tidak pernah bisa naik kepermukaan karena sudah layu atau mati sebelum berkembang. Tidak pernah mendapat kesempatan yang seharusnya. Kini jaman sudah berubah, era computer dan internet melaju tak terbendung. Bak wabah dia menjangkiti siapa saja mulai dari anak-anak yang masih balita sampai dengan kakek-kakek dan nenek-nenek. Bahkan setiap saat semua orang bisa memanfaatkan sarana yang bernama internet untuk mengekspresikan diri. Ada fasilitas yang bernama blog, facebook, yahoo messenger dan lain-lainya yang bisa mengcover segala imajinasi dan ide-ide yang hendak kita telurkan. Semua bisa dilakukan dengan mudah dan yang terpenting seseorang tidak perlu harus memiliki kriteria tertentu untuk bisa berpartisipasi. Semua orang bisa dengan bebas mengekspresikan dirinya asalkan bertanggung jawab atas apa yang dilemparkan ke publik.
Begitu juga di keluargaku, aku dan istri kini berlomba-lomba untuk menjadi yang paling kreatif. Masing-masing dari kami memiliki blog, bahkan aku memiliki 4 blog yang berlainan tema. Selain itu kami aktif di facebook, yahoo messenger, skype dan lain-lain situs yang lagi trend saat ini. Setiap hari setiap saat kami jadi memeras otak untuk menjadi lebih baik dari hari ini, ratusan referensi yang bisa kami akses secara mudah telah aku simpan rapi di hardisk. Percaya atau tidak sekarang aku tidak perlu ngantor lagi setiap hari, income bisa aku tangguk hanya dengan duduk di depan computer. Sungguh suatu hal yang tidak pernah terpikirkan oleh umat manusia dua puluh tahun yang lalu. Kalau boleh menyesal, aku telah habiskan waktuku selama 19 tahun terakhir tanpa hasil yang maksimal. Kini aku, istri dan anakku berkolaborasi dalam pembuatan sebuah cerita bergambar, sebuah serial petualangan anak-anak. Aku tidak tahu nantinya akan di terbitkan secara cetak atau e-book. Nggak perlu dipikirkan saat ini yang penting ide-ide biarlah terus mengalir selanjutnya apa yang kita inginkan akan datang sendiri menghampiri.
Bagi sobat-sobat siapa saja yang kebetulan membaca celoteh ini, ayo jangan buang-buang waktu kalian manfaatkan dan maksimalkan apa saja yang kamu punya, apa saja yang kamu ingin realisasikan. Mumpung masih ada waktu mumpung masih ada kesempatan. Selamat mencoba.

Queen's Mummy Found In 4,300-Year-Old Pyramid


Andrew Bossone in Cairo
for National Geographic News

January 14, 2009


Parts of a mummy found inside a 4,300-year-old pyramid could be Queen Seshseshet, the mother of the first pharaoh of Egypt's 6th dynasty, archaeologists have announced.

A skull, pelvis, legs, and pieces of a torso wrapped in linen lay inside a 16-foot-tall (5-meter-tall) pyramid—the third "subsidiary" tomb found next to that of the pharaoh Teti, who ruled for 22 years before he was assassinated.

Seshseshet's pyramid was discovered last November in Saqqara, the vast burial ground near modern-day Cairo that was part of the ancient Egyptian capital of Memphis.

Two other previously known pyramids were for his principal wives, Iput I and Khuit.

Zahi Hawass, secretary general of Egypt's Supreme Council of Antiquities (SCA), noted that there are currently no plans to run DNA tests on the mummy to confirm its identity.

"We believe the [newfound] pyramid belonged to the queen, the mother of Teti, because she is the third woman that we know in the life of the king," Hawass said.

Motherly Love

Royal moms were revered in ancient Egypt, as they were literally considered the mothers of a god. Teti's mother was an especially well-known figure in her day.

"Teti loved his mother so much that he named all of his [nine] daughters after her," said Egyptologist Naguib Kanawati of Macquarie University in Australia, who was not involved in the new find.

"All of them have nicknames, but their main names were Seshseshet."

Also, at least two funerary estates—special parcels of land that provided food for the funerary cults of high officials—were named after her, a practice Kanawati compared to naming modern cities after important historical figures.

"Washington was a famous figure in American history, and Seshseshet was an important person, certainly for the king."

Like other royal tombs, the queen's burial chamber was once filled with treasures that were taken by thieves centuries after her death.

But in this case, the tomb raiders actually helped current excavations by creating a path into the chamber. (Related: "Egyptian Dentists' Tombs Found by Thieves" [October 23, 2006].)

The thieves entered through a tunnel from the top, because they couldn't get through the main entrance, said Hawass, who is also a National Geographic Society explorer-in-residence. (The National Geographic Society owns National Geographic News.)

Fortunately, Seshseshet's mummy was inside a granite sarcophagus with a six-ton lid, so the thieves left the body and its decorations of gold jewelry untouched.

"They didn't open the sarcophagus; they were using their hands," said Hawass, whose team used heavy machinery to remove the lid.

Tomb With Bare Walls

The archaeologists noted that Seshseshet's 172-square-foot (16-square-meter) burial chamber didn't have text inscriptions on its walls, helping to narrow the time frame for when the practice began in women's tombs.

Tomb inscriptions for women existed during the time of Pepy I, who succeeded an unnamed usurper who reigned for two years following Teti's assassination.

This means that Seshseshet was among the last of Egypt's queens buried without inscriptions.

Her name and royal status remain part of history, however, in part because her description has been found on fragments of stone from Saqqara and her name was written inside the tombs of important officials of her time.

Tuesday, January 27, 2009

Tikus


Sudah satu minggu belakangan ini rumahku kedatangan tamu tidak diundang, dia adalah seekor tikus. Tidak besar sih bahkan tidak sampai sebesar kepalan tangan orang dewasa tapi seisi rumah heboh dibuatnya. Memang dari dulu kami paling benci dengan binatang yang satu ini karena perangainya yang tidak simpatik. Dia bisa dengan seenaknya mencuri makanan yang hendak kami santap. Lantaran makanan sudah diacak-acak mau nggak mau akhirnya makanan kami buang ke tempat sampah. Kami pun mengalah dan pergi tidur dengan perut kosong. Sejak saat itulah kami ikrarkan perlawanan terhadap spesies yang satu ini. Belum lagi istriku pada dasarnya takut dan jijik terhadapnya maka lengkaplah sudah kredo permusuhan diantara kami dengan binatang pengerat laknat tersebut.

Tentang tikus yang kami sebut diawal tulisan gerakannya sangat gesit dan sulit dikejar. Dia seperti hantu gentayangan yang setiap saat menteror seisi rumah. Dari lantai satu sampai lantai dua rumah sudah dibongkar namun aneh bin ajaib dia seolah raib dan menghilang begitu saja. Lantas kami anggap mungkin ada jalan keluar rahasia yang kami belum temukan. Pencarian pun berakhir dengan kekecewaan. Beberapa hari kemudian disaat lengah dia muncul lagi dan mengejutkan kami. Perburuan baru pun dimulai dan lagi-lagi kami gagal menangkapnya. Bahkan lem tikus tidak pernah dia sentuh seakan dia bisa membaca pikiran seluruh keluarga kami. Perangkap lem akhirnya kami buang karena yang terperangkap justru malah cicak yang tugasnya mengamankan rumah dari serangan nyamuk. Salah sasaran.

Malam ini adalah puncak kekesalan kami terhadap si tikus. Dia menggondol pancake buatan istriku yang hendak dipersembahkan buat putriku yang sejak beberapa hari ini sangat ingin menyantap kue kesayangannya. Malam ini istriku baru sempat membuatkan pancake karena bertepatan dengan hari libur tahun baru Imlek maka dibuatlah kue istimewa tersebut dan dihidangkan di atas meja. Belum sempat kami mencicipinya pancake sudah diembat. Anabel putriku sedih sampai menitikkan air mata lantaran keinginannya untuk mencicipi pancake tertunda lagi. Sontak darahku mendidih, “malam ini harus aku tangkap hidup-hidup dan akan aku sengsarakan dia sampai akhir hidupnya”, teriakku geram. Malam ini juga aku dan istriku keliling condet untuk membeli jebakan tikus. Setelah berkeliling ke beberapa toko akhirnya kami dapatkan juga sebuah jebakan tikus terbuat dari kawat kasa yang cukup tebal seharga dua puluh ribu rupiah. Diam-diam aku tersenyum lega, “habis kamu malam ini …”.

Ketika kami semua hendak berangkat keperaduan, aku sempatkan memasang jebakan tikus. Umpannya tidak tanggung-tanggung, sepotong besar bandeng presto. Hidangan penutup, the last supper. Sekitar pukul setengah satu dini hari aku mendengar jebakan bekerja, suaranya cukup untuk membangunkan tidurku. Aku keluar kamar dan kudapati seekor tikus di dalam jebakan. Matanya tajam menatapku dan kubalas dengan tatapan tajam kematanya. Sejenak kami berpandangan dan aku menang. Si tikus blingsatan didalam perangkap berupaya mencari jalan keluar namun usahanya sia-sia. Aku masuk kembali ke dalam kamar dan melanjutkan mimpi yang terpenggal. No way out …

Keesokan paginya aku bangunkan anak dan istriku agar melihat dan memuaskan kemarahannya pada si tikus. Aku agak kecewa karena mereka ternyata tidak antusias menanggapi keberhasilanku menangkap the family enemy. Bahkan Anabel melirik sekejap dan masuk kamarku untuk meneruskan tidurnya. Kekecewaanku bertambah lagi ketika aku berdebat dengan istriku tentang bagaimana cara memusnahkan si tikus. Aku berharap dia dibakar atau direndam saja di dalam air biar dia merasakan kemarahanku yang selama ini tak bisa terlampiaskan. Antusiasku ternyata mencapai antiklimaks ketika istriku mengajukan pendapat yang benar-benar diluar dugaan. “Lepaskan saja di luar teras biar dia pergi dan tidak balik ke rumah kita lagi. Toh dia cukup jera dengan terperangkap disitu.”, cerocos istriku seolah tidak mau memahami kekecewaanku. Percuma berdebat dengan istriku dia selalu kekeh dengan keyakinannya. Akhirnya aku masuk ke rumah dan merenungkan makna saling memaafkan yang selama ini sering aku khotbahkan kepada istriku agar dia selalu membuka pintu maaf kepada siapa saja.

Sampai siang hari si tikus masih di dalam perangkapnya, aku belum jua merelakan dia bebas pergi. Dendam itu masih mengusik dan mengompori perasaanku agar aku tidak sudi memafkannya. Sementara itu aku masih termangu di ruang tamu, mulai berhitung antara melepas atau membunuh sang pesakitan. Namun ketika hitungan jatuh pada melepaskan maka hitungan kuulang dan kuulang lagi sampai hitungan jatuh pada kata membunuh. Demi sebuah kepuasan, demi sebuah dendam …

Condet, 27 Januari 2009

Pulang ke rumahMu




Siang di hari Minggu udara sejuk berawan angin bertiup sepoi–sepoi, aku bersama istri dan anakku berwisata ke kebun binatang Ragunan. Memasuki kawasan kebun binatang kita seolah dibawa kealam berbeda dari keseharian kota Jakarta yang pengap dan sesak. Sejenak kita melupakan hiruk pikuk kesibukan lalu lintas yang tidak pernah berhenti menderu-deru memburu entah apa yang diburu sekaligus semacam peringatan buat semua bahwa kita butuh tempat bernapas.

Selama ini kehidupan seakan hanya kerutinan yang berkonotasi materi dan materi. Kita berlari kesana kemari tak menentu demi uang, demi kebutuhan duniawi semata. Kita bahkan terjebak dibelantara waktu yang ketat dan sempit, 24 jam seakan tidak cukup demi sebuah pencarian materi. Mengingatkanku pada koloni semut yang berlari kesana kemari entah untuk apa, mungkin untuk makanan yang mereka kumpulkan. Bahkan agama yang seharusnya menjadi makanan rohani berujung pada bisnis dan kerutinan yang kering. Kita kehilangan jati diri. Kita tersesat di belantara beton yang tak berhati dan kita sunyi sendiri dalam hingar bingarnya.

Di sini, di Ragunan kita bisa berbicara dengan hati pada lingkungan yang asri, pada kerinduan masa kecil yang tidak mungkin kita raih kembali. Untuk menyadari bahwa selama ini kita seolah berjalan disatu lorong waktu yang tak berujung dan kita tidak pernah mencoba menemukan ujung perjalanan. Kita berputar-putar pada labirin kehidupan yang asing. Kita semua bingung namun mengamini sebagai resiko modernisasi. Sementara itu bumi kita terserang kanker ganas yang membuatnya semakin hari semakin kritis sementara kita tertawa dan menari-nari ditubuhnya yang ringkih dan berbau busuk tanpa mau tahu bebannya semakin berat dan sekarat.

Ya, hanya dengan tiket empat ribu rupiah kita diajak berkontemplasi, kita diajak bercermin, kita diajak bergandengan tangan berharap ada kesadaran dan pencerahan. Ada semacam warning bahwa kita diambang kehancuran. Ada sedikit waktu untuk menyelamatkan bumi dan kehidupan. Kenapa kita tak jua mengerti? Sementara itu keramaian kebun binatang tak berbuah pelajaran melulu hura-hura dan nafsu yang coba mencari salurannya. Teriakku hanya membentur tembok dan langit-langit beton, Cuma berefek gema yang memantul ketelinga kalbuku sendiri. Aku mencoba berlari walau hanya ditempat. Tak apalah toh masih kulihat harapan pada wajah-wajah sumringah para pengunjung yang mengalir bak air bah. Dibawah sadar mereka menggapai-gapai asal kejadian, meraba-raba mencari hakikatnya. Kelak, akan ada yang menemukannya namun ada juga yang berputar-putar pada ketidak tahuan, ketidak pedulian dan kesombongannya masing-masing. Aku yakin setiap insan akan menemukan hikmah dalam setiap perjalanan lahiriah dan spiritualnya dan yang kelak akan menentukan di level mana mereka akan berdiri dan mempertanggung jawabkan arah langkahnya.

Khusukku buyar ketika hujan menghujam keras. Angin menderu-deru semua berlarian kesana kemari mencari tempat berteduh. Kilat menyala menyilaukan membentuk garis bercabang-cabang mencari tempat berlabuh, suaranya mengguntur membuat semua terdiam dalam tanya masing-masing. Kini para pengunjung diam dalam kelompok-kelompok dibawah atap. Penuh sesak namun sepi pembicaraan sementara itu langit Ragunan pekat seperti puncak malam. Untuk beberapa saat kegembiraan mereka terputus mungkin jadi semacam tenggat waktu atau sedikit ruang kosong buat semua memunguti pelajaran yang dipetik dari awal perjalanan sejak di pintu masuk kebun binatang hingga di tempat berteduh sementaranya.

Satu jam berlalu langit mulai memberikan ruang bagi cahaya dan hujan pun mohon diri memberikan kesempatan buat para pengunjung berbenah diri dan mempersilahkan putik-putik serta tunas-tunas muda tetumbuhan untuk menggeliat dan bertumbuh, menyambung kehidupan agar tak terputus di tengah jalan, agar semua bisa berjalan di rel yang seharusnya. Aku, istri dan anakku pun ikut berbenah untuk pulang, untuk melanjutkan kehidupan nyata, untuk melanjutkan missi kehidupan yang sebenar-benarnya untuk sampai di rumahMu.

Ragunan, 26 januari 2009

Thursday, January 22, 2009

PING & PONG


Sebulan yang lalu putriku Anabel ingin memelihara binatang peliharaan. Ada beberapa pilihan binatang yang ingin dia miliki, antara lain kucing, anjing, kingkong dan kelinci. Memelihara kucing di rumah tampaknya mustahil karena istriku takut terhadap binatang yang menurutku paling manis sedunia. Kenapa aku katakan paling manis karena semenjak kecil aku telah memelihara kucing di rumah kakek di Malang. Tidak Cuma 2 atau 3 ekor yang kami pelihara tapi sampai mencapai 20 ekor jumlahnya. Jadi tentang binatang yang satu ini aku sudah hapal luar kepala karakternya. Aku dengan mudah akan tahu apabila seekor kucing sedang merasa senang, sedih, kesakitan atau bahkan ketika si kucing sedang horny di musim kawin. Kalau aku ceritakan satu per satu kucing peliharaan masa kecilku mungkin akan jadi satu buku sendiri. Mungkin next time aku bahas tersendiri tentang kucing. Pilihan ke dua adalah binatang anjing. Ini pun tampaknya tidak mungkin aku pelihara karena saat ini rumahku berada dipemukiman padat penduduk di daerah Condet. Di sini komunitas terbesar penduduknya adalah warga Betawi yang nota bene banyak yang anti dengan anjing. Jadi apa artinya memelihara binatang yang satu ini kalau kita mesti was-was jangan-jangan nanti diracun oleh orang yang tidak suka dengan binatang yang konon katanya biang najis. Bahkan kata tetanggaku apabila kita memelihara anjing maka malaikat emoh singgah di rumahku. Nah!? Pilihan ketiga nampaknya lebih muskil lagi. Dari mana aku mesti mencari kingkong sedangkan untuk memelihara monyet saja aku takut dikira memelihara binatang yang seharusnya dikembalikan ke habitatnya di hutan. Tentang keinginan anakku memelihara kingkong ini ada ceritanya juga. Pada suatu hari kami menonton film kingkong di salah satu stasiun televisi swasta. Anabel tampaknya terkesima melihat adegan demi adegan bahkan dia menangis ketika sampai pada adegan yang mengharukan dimana sang kingkong terjatuh dari gedung yang tinggi karena dihujani tembakan oleh beberapa pesawat tempur. Kingkong mati dan Anabel putriku yang baru berusia 5 tahun kemudian mempertanyakan kenapa kingkong harus mati, kenapa orang berbuat jahat kepada kingkong dan banyak pertanyaan lain yang intinya memprotes kenapa kita semua menyia-nyiakan binatang yang seharusnya kita sayangi bersama. Akhirnya aku belikan saja ‘dvd’nya dan dia menonton kingkong di computer kerjaku setiap hari tanpa pernah bosan. Aku harus mengalah dengan bekerja di malam hari. Seminggu kemudian Anabel seolah tersadar dari mimpi dan kembali menanyakan tentang binatang peliharaan. Pilihannya kini adalah seekor kelinci. Setiap hari dia merengek, baik itu ke aku maupun ke istriku untuk segera dibelikan kelinci. Apa boleh buat demi anak kesayangan akhirnya aku dan istriku berangkat ke pasar hewan Jatinegara untuk membeli sepasang kelinci. Kenapa harus sepasang? ya, karena pertimbangan kasihan saja kalau cuma ada satu ekor, dia pasti akan kesepian. Tentang kelinci pun kami punya sejarah. Pada tahun pertama perkawinan, kami pernah mendapat hadiah sepasang kelinci dari teman istriku yang bernama Dessy. Kami beri nama kelinci tersebut Pi dan Po. Kami pelihara mereka dengan kasih sayang sampai akhirnya kami harus meninggalkan mereka yang sudah tumbuh menjadi kelinci besar dan gemuk. Berhubung pindah rumah maka kedua kelinci tersebut diberikan kepada tukang sayur langganan kami. Aku tidak tahu apakah kelinci-kelinci tersebut dipelihara atau langsung dipotong dibuat sate kelinci. Wallahualam. Begitulah kisah sedih kami berpisah dengan Pi dan Po.

Betapa gembiranya Anabel pada suatu pagi di hari minggu ketika kami memberinya kejutan dua ekor kelinci. Seharian dia pandangi terus si kelinci, diajaknya ngomong dan diberikannya makanan selada dan wortel. Bahkan dia tidak memperbolehkan kami menaruh kelinci di teras depan. Mau nggak mau terpaksa kelinci-kelinci tersebut kami pelihara di dalam rumah. Sehari dua hari sih oke-oke saja tetapi lama kelamaan aku agak jengah juga. Kotoran dan kencing kelinci-kelinci ada dimana-mana, disemua sudut rumah bahkan di atas sofa. Rumah jadi bau seperti kandang. Bahkan beberapa hari terakhir kelinci sudah bisa naik ke lantai dua. Sang kelinci dengan tanpa rasa bersalah naik ke atas perutku yang sedang tiduran sambil menonton tv dan kencing di bajuku. Tepat satu bulan aku berhasil membujuk Anabel untuk memindahkan kelinci ke dalam sebuah kandang di teras. Kandang yang kami maksud adalah sebuah kandang yang kubuat dari kawat kassa dan pipa pvc berukuran 1 meter kali 2 meter. Kini giliran istriku yang tidak tega dengan alasan bisa dimangsa kucing atau tikus got yang besar-besar badannya. Akhirnya disepakati siang hari ditaruh di teras depan dan malam hari kandang ditarik ke ruang tamu. Problem solve. O iya, kelinci kami yang satu berwarna putih hitam berasal dari ras local karena bulunya pendek-pendek dan yang satu lagi berwarna coklat tua berbulu panjang, mungkin dari ras angora. Maaf kalau salah mengidentifikasi mereka karena aku bukan expert dibidang perkelincian.

Begitulah pengalaman kami memelihara sepasang kelinci, ada hal-hal positif dari memelihara kelinci yaitu aku jadi punya kesibukan baru mengepel dan membersihkan kandang agar tetap bersih dan nyaman sebagai tempat tinggal mereka. Aku tidak bengong lagi setelah seharian suntuk di depan computer. Kisah ini belum selesai, mereka berdua tumbuh dengan pesat, makan mereka rakus sekali, tubuhnya gemuk dan kami semakin sayang kepada Ping dan Pong. Katakan, “we love rabbits, we love animals, we love peace …”

Wednesday, January 21, 2009

Handphone buat bapak


Sekitar pukul 7 malam bapak telepon ke hpku, beliau mengucapkan terima kasih karena kubelikan sebuah hand phone. Seharusnya ini hanyalah kejadian biasa dan sepatutnya apabila seorang anak berbakti kepada orang tua apalagi hanya untuk sebuah hp yang tidak seberapa nilainya, namun ada sesuatu yang membuat kerongkonganku terasa tersekat lantaran kurasa ada keharuan dalam suara bapak. Suara ketulusan yang momennya sangat langka, suara dari masa lampau, suara dari masa kanak-kanak yang telah lama aku lupakan.

Sejak meninggalkan kota kelahiranku pada tahun 1990, aku memang sama sekali tidak pernah berkomunikasi dengan bapak. Ada semacam penolakan-penolakan dalam diriku terhadap kehadiran bapak, sebuah judgment tidak mendasar yang aku manage dan yakini bahwa segala hal yang terjadi dengan keluargaku dimasa lampau adalah kesalahan dari bapak. Aku memandang bahwa bapak adalah sosok lemah yang jauh dari figure seorang bapak. Bapak sama sekali tidak pernah membuatku merasa bangga memiliki bapak seperti beliau. Dari waktu ke waktu aku selalu melihat kelemahan dan kecengengan dari sosoknya. Beliau selalu menangis diketiak mbah uti (ibu dari bapak) apabila terlilit sebuah masalah. Hidupnya selalu tergantung dari orang tua. Anak mama, orang menyebutnya. Bahkan yang selalu aku sesalkan adalah penyebab meninggalnya ibu aku yakini karena bapak walau secara tidak langsung. Bapak adalah seorang perokok berat. Beliau selalu merokok dimanapun ia berada. Selama bertahun-tahun ibu selalu menghisap asap rokok yang dihembuskan bapak. Ya, ibuku adalah perokok pasif karena selalu menghisap limbah rokok. Hingga pada suatu hari di tahun 1985 ibu terserang kanker paru-paru. Jiwanya tidak tertolong dan meninggal dunia meninggalkan anak-anaknya yang masih butuh bimbingan dan biaya dari ibu. Selanjutnya bisa diterka, kami 5 bersaudara hidup masing-masing alias survive untuk menghidupi diri sendiri. Waktu demi waktu aku jalani dengan tertatih-tatih. Hingga pada tahun 1990 aku berhasil menamatkan kuliah di Universitas Brawijaya. Untuk melupakan semua permasalahan hidup aku meninggalkan saudara-saudaraku, teman-temanku dan kota Malang menuju Jakarta. Berharap menemukan pencerahan.

Bertahun-tahun hidup diperantauan aku merombak segala hal tentang diriku, mulai dari kebiasaan-kebiasaan lama sampai dengan karakterku yang cenderung introvert. Kini aku benar-benar menjadi sosok yang lain sama sekali. Setapak demi setapak aku mulai menemukan jati diri dan tujuan dari eksistensiku. Pada suatu pagi aku terbangun dan terkejut mendapati betapa bodohnya aku selama ini. Segala hal yang diberikan Tuhan terhadap diriku ternyata bukan tanpa sebab dan tujuan. Hal-hal yang aku rasakan sebagai beban dan penyalahan terhadap orang lain termasuk terhadap bapak ternyata keliru sama sekali. Betapa Tuhan ternyata sangat menyayangi aku. Masa lalu kini kurasa indah dan berwarna-warni, tahapan demi tahapannya ternyata adalah hikmah. Berkat karakter apa adanya Bapak kini aku justru menjadi pribadi yang kokoh. Aku menjadi banyak belajar dari kehidupan dan liku-likunya. Aku menjadi insan yang selalu berproses bahkan hingga kelak aku pulang.

Malam ini aku bersujud, berdoa agar bapak selalu diberikan kesehatan dan kebahagiaan disisa usianya. Maafkan aku bapak, maafkan aku yang selama ini berprasangka buruk terhadapmu.