WIWIN DONGENG MANAGEMENT

Saturday, September 27, 2008

"Hobbit" Humans Were Diseased, Not New Species, Study Says



John Roach
for
National Geographic News

May 18, 2006

The "hobbit" humans that lived on the Indonesian island of Flores some 18,000 years ago were actually a population of modern humans stricken with a genetic disease that causes small brains, a new study says.

The argument is being made by a group of scientists who have analyzed all the scientific evidence presented so far about the evolution of the proposed species Homo floresiensis.

The discovery of the hobbit-like human—so-called for their small stature—was first announced in 2004 after a fossil skull and bones of several individuals turned up on Flores.

Preliminary analysis of the remains pegged them as belonging to a totally new species (see hobbit fossil photos).

But gaps in the understanding of how these people existed alongside modern humans and came to wield sophisticated stone tools are coming under greater scrutiny.

In a comment appearing in tomorrow's issue of the journal Science, researchers challenge the evidence used to rule out the notion that hobbits were modern humans with a disease known as microcephaly.

This genetic disorder causes smaller brain size in modern humans and can also lead to short stature.

Not Dwarves?

"My primary concern is with that tiny brain size," said Robert Martin, provost of the Field Museum in Chicago, Illinois, and lead author of the new study.

Martin says that the hobbits' brain size is too small to fit any argument yet made in the scientific literature that H. floresiensis is a separate species.

For example, one theory says that the hobbits could be dwarves derived from Homo erectus, a human ancestor that lived 1.8 million years ago.

This argument is based on the so-called island rule, which says that evolution drives larger species to become smaller on islands due to a lack of food and other resources.

The problem, according to Martin, is that while the body size of a large species shrinks considerably in cases of island dwarfism, brain size shrinks moderately.

Based on models of dwarfing, the Flores skull is too small for its 3.3-foot-tall (1-meter-tall) skeleton, he says.

For hobbits to be dwarves of H. erectus, they would have to have stood just a foot (a third of a meter) tall and weighed only four pounds (two kilograms).

Instead, Martin and colleagues suggest that the small brain resulted from microcephaly.

Since the disease is genetic, it runs in families. "So it wouldn't be too surprising in a small, isolated island population to find a number of cases cropping up," Martin said.

In addition, Martin says, the hobbit remains were found near advanced stone tools thought to have been made by modern humans only.

"So there is a mismatch between tiny brains and sophisticated stone tools," he said.

Point, Counterpoint

Martin and colleagues direct their argument to a paper published in the March 4, 2005, issue of Science by Dean Falk, an anthropologist at Florida State University in Tallahassee, and colleagues.

Martin's team says that Falk's team made a mistake in the way they ruled out microcephaly.

The disease has dozens of different forms, Martin says. But Falk and colleagues only compare the Flores fossil to one poorly matched microcephalic skull of a modern human.

Martin's team, by contrast, identified other microcephalic skulls that more closely resemble the Flores fossil skulls, he says.

Falk acknowledges that her team only examined one skull. But she adds that the evidence that Martin's team's skulls are better matched is poorly illustrated in Martin's paper.

Regardless, Falk adds, her team is finishing up an in-depth analysis on microcephaly.

"We're confident that [the hobbit skull] is not a microcephalic," she said.

Also, Falk and her colleagues noted in their original paper that normal dwarfing of H. erectus could not explain the Flores fossils.

Rather, they suggested the hobbits resulted from dwarfing of apes or australopithecines, earlier human ancestors.

"I don't understand why they argue about it," she said. "We were the first to point out" that the hobbit cannot be an H. erectus dwarf.

As for the stone tools, Falk says she is unqualified to comment, though she agrees with the suggestions of other scientists that the hobbits could have developed sophisticated tools.

Unprecedented Find

Richard Potts is the director of the Human Origins Program at the Smithsonian Institution in Washington, D.C. He was not involved with either of the teams.

Potts says Martin and colleagues are primarily reacting to the original interpretation of the hobbit find, published in 2004 in the journal Nature.

That study said that the Flores fossils represent island dwarfing in H. erectus and not dwarfing of an ape or australopithecine.

"So what would island dwarfing in an ape look like?" Potts asked. "We don't know—that's one of the big gaps of this whole thing."

In addition, Potts says, Martin and colleagues' suggestion that the Flores skull represents a microcephalic modern human is unsupported by recent studies on leg and shoulder fossils from Flores that suggest similarities to earlier human ancestors.

"We're dealing with something unprecedented in modern humans," Potts said.

"[The hobbit is] either a representative of a unique and unreported range of variation in a modern human, or it's a new species that seems to be derived from an earlier ancestor.

"That second idea is more in line with the original interpretation and probably the safest at this stage," he continued.

"But it's a wonderful mystery."

Tuesday, September 16, 2008

Zakat berujung petaka


Hari ini aku berduka sangat dalam, tetes air mata tak jua bisa menghalau kekecewaan yang kurasa. 21 nyawa melayang demi uang Rp 30.000,- di Pasuruan, demi rejeki yang tidak setiap hari bisa mereka terima. Rp 30.000,- adalah jumlah yang besar bagi mereka, jumlah yang bisa menyambung harapan buat perut, paling tidak untuk hari itu. Para orang tua bergelimpangan tak berdaya, terinjak-injak dan kehabisan napas. Satu per satu meregang nyawa sebelum memperoleh Rp 30.000,- Semuanya sudah terjadi dan menyisakan duka mendalam bagi para keluarga yang ditinggalkan. Bagi yang berzakat, berharap dapat pahala malah berujung sebagai pesakitan (tersangka).

Bulan Ramadhan, bulan yang seharusnya penuh hikmah dan pahala adalah saat yang tepat bagi kita semua untuk merenung tentang hidup, tentang sikap yang selama ini kita pilih dan jalani. Adakah semua mendatangkan keuntungan dan kebahagiaan bagi orang lain ataukan melulu hanya buat diri sendiri. Apabila sebagai umat kita mau mencoba berbuat baik, paling tidak bagi tetangga atau orang-orang disekitar kita yang tidak mampu, yang terlihat oleh kita sehari-hari, tentu tidak lagi kita dengar dan kita lihat korban mati sia-sia demi mendapatkan uang receh. Zakat fitrah hanyalah momen dimana kita diingatkan oleh Allah SWT bahwa disekitar kita banyak orang yang patut kita bantu dan lindungi. Setelah itu adalah waktu panjang dimana kita tanpa dingatkan olehNya diberikan kesempatan untuk memutuskan sendiri tentang kebersamaan, tentang saling kasih antar sesama, tentang berbagi rejeki dan kebahagiaan.

Bagi pemerintah sudah saatnya untuk merombak system yang ada menjadi program pembangunan yang berfokus pada grass root. Pemberdayaan potensi masyarakat kita yang banyak adalah kekuatan besar. Apapun dalih pemerintah tentang masyarakat miskin namun kenyataan gamblang di depan mata. Masyarakat sekarang lebih cerdas tidak bisa lagi dikelabui dengan data-data dan angka-angka. Sudah saatnya kita terbuka dan transparan demi sebuah cita-cita luhur “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Selamat jalan para ibu-ibu, kalian meninggal demi sebuah perjuangan, demi sebuah harapan, demi hidup yang lebih baik. Kalian tidak mati sia-sia. Doaku menyertai kalian …

Monday, September 15, 2008

RUU Pornografi, sebuah langkah mundur

Pembicaraan tentang RUU pornografi dimulai lagi di DPR. Walaupun menimbulkan perdebatan panas namun RUU tersebut terus saja bergulir. DPR sepertinya tidak memahami tentang pluralitas bangsa ini atau memang tidak mau tahu? Entah apa yang membuat para pejabat legislative begitu getol memperjuangkan RUU ini agar segera bisa menjadi UU. Seperti kita tahu bahwa RUU pornografi versi DPR ini sama sekali tidak mencerminkan keberagaman bangsa Indonesia bahkan lebih kental nuansa budaya Arab. Secara implisit ada pemaksaan penerapan Syariat Islam dalam kontens RUU ini.

Berkali-kali saya kemukakan dalam berbagai tulisan bahwa Republik ini diambang kehancuran. Benih-benih perpecahan yang semakin kasat mata menggelinding terus menjadi bola salju tanpa ada antisipasi, tanpa ada tindakan tegas dari pemerintah. Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, harus ada penjelasan dari pihak-pihak terkait tentang materi ini. Para pihak yang nota bene bangsa Indonesia juga harus mencatat mereka-mereka yang selalu memperjuangkan benih perpecahan ini kelak harus mempertanggungjawabkan apabila bangsa ini menjadi kocar-kacir dan hancur.

Keberagaman di Indonesia adalah realita yang tidak bisa direkayasa atau dipaksakan untuk menjadi sesuatu yang baru dan lain sama sekali, yang bukan cerminan kepribadian dirinya. Keberagaman bangsa ini tidak akan mungkin mau takhluk terhadap budaya bebal namun merasa paling benar dan unggul. Suatu aksi pasti akan menimbulkan reaksi. Tentu semua mengerti dan memahami kondisi logis ini.

Ayolah para siapa saja yang merasa diri paling benar, bangunlah dari mimpi panjang. Kalian hidup dalam dunia yang majemuk, yang beragam. Kalian tidak hidup di gurun pasir yang tanpa kehidupan. Kalian harus belajar dan memahami kearifan local, lebih bisa bertoleransi, ber-tepo seliro. Kalau keyakinan kalian adalah kebenaran maka itu adalah kebenaran bagi diri kalian sendiri. So terapkan bagi diri kalian sendiri, tidak usah memaksakan kebenaran relative kalian pada orang lain yang tidak sepaham.

Republik Indonesia adalah Negara yang memiliki keberagaman budaya, bahasa dan keyakinan. Biarlah kami menjadi diri kami sendiri, jangan dipaksa menjadi sesuatu yang kami tidak pernah pahami.

The Truth is Out There


Ingin tahu lebih banyak tentang fenomena UFO, Alien, Misteri tak terpecahkan dan fenomena hantu serta kehidupan di Planet Mars? ikuti ulasannya disertai bukti-bukti otentik foto dan video dari sumber-sumber resmi yang dapat dipercaya. Kunjungi sekarang juga dan dapatkan realita baru yang tidak pernah anda bayangkan selama ini. Selamat bergabung, selamat membuka cakrawala pandang baru tentang ilmu pengetahuan. Semua hanya ada di http://eskusbiscorner.multiply.com

Saturday, September 06, 2008

MAJULAH - MAJULAH MENANG !!!

Saudara-saudaraku, tahukah kalian bahwa Republik Indonesia adalah Negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia? Tahukah kalian bahwa Indonesia memiliki 17.504 pulau yang terbentang dari Sabang hingga Merauke dan tercatat bahwa tiga pulau, masing-masing Sumatera (473.606 km2), Kalimantan (539.460 km2 , tercatat sebagai pulau terbesar ke 3 di dunia) dan Papua (421.981 km2) adalah termasuk 3 dari 6 pulau terbesar di dunia. Tahukah kalian bahwa luas perairan Indonesia adalah 93.000 km2 dengan panjang pantai sekitar 81.000 km2 atau hampir 25% panjang pantai dunia. Tahukah kalian jika kita bersatu-padu bersama-sama berjuang demi kemajuan bangsa dan Negara maka kita akan menjadi satu kekuatan yang akan disegani diseluruh dunia. Tahukah kalian saudara-saudaraku kenapa kita selalu dilanda konflik tak berkesudahan (konflik Timor Timur, aceh, Papua dll)? karena banyak yang tidak menginginkan Indonesia menjadi Negara besar. Banyak yang menginginkan kita hancur lebur menjadi Negara-negara kecil yang tidak punya daya dan selalu mengemis pada kekuatan Negara adidaya.

Ayolah saudara-saudaraku kita bangkit dari mimpi panjang ini, berdiri tegak sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Mari kita buang jauh-jauh rasa minder, mari kita busungkan dada dan kita teriakkan kepada dunia bahwa kita tidak bisa dipermainkan dan diperdaya oleh siapapun. Kita teriakkan bahwa kita mampu mengatur diri sendiri tanpa pernah mau lagi didikte oleh Negara manapun. Marilah kita berjalan tegak menyusul ketertinggalan dengan perasaan bangga sebagai bangsa Indonesia. Bergerak – bergerak, serentak – serentak, majulah – majulah menang ….

Kehidupan di Mars, Khayalan atau Kenyataan







Bagaimana seandainya di Planet Mars atau planet Merah ada kehidupan atau paling tidak bisa memungkinkan buat umat manusia untuk hidup dan tinggal? Sesuatu yang tidak pernah kita bayangkan seandainya jawabannya positif. Mungkin akan terjadi interaksi dengan penduduk disana dan selanjutnya akan tercipta iklim perdagangan atau hubungan kemasyarakatan / diplomatik. Bagaimana pula kalau justru terjadi peperangan lantaran berebut dominasi wilayah dan perekonomian? Entahlah, ini kan Cuma lamunan dan andai-andai belaka. Kalau seandainya benar-benar terjadi tentu permasalahannya akan jadi sangat complicated. Bisa-bisa akan terjadi perubahan yang sangat radikal tentang segala hal yang telah kita mahfumi selama ini. Lantas kenapa tiba-tiba saya punya pemikiran bahwa mungkin atau tidakkah ada kehidupan di Planet Mars.

Ini bukan rekayasa atau isapan jempol belaka melainkan berdasar hasil photo satelit yang saya rangkum dari beberapa situs diantaranya diambil dari http://www.marsanomalyresearch.com/

Selanjutnya terserah para pembaca bagaimana memaknai dan menyimpulkan fenomena tersebut. Selamat berimajinasi.





Negara Dalam Negara

Beberapa hari telah kita lalui dibulan puasa, saya berharap tercipta suasana tenang dan tenteram akan bisa kita jalani. Setiap umat bisa mengontrol diri dan mulai mengedepankan hati dan bukan emosi atau kepentingan tertentu. Saya berharap kita bisa menyerap sari pati hikmah berpuasa dengan saling toleran, saling kasih diantara komponen bangsa dan saling berlomba-lomba melakukan kebaikan. Namun apa yang terjadi, kesucian bulan ramadhan dikotori oleh segelintir orang yang kembali memaksakan kehendaknya. Gubernur Sumatera selatan mengeluarkan Perda tentang pelarangan ajaran Ahmadiyah. Ditengah situasi yang seharusnya cooling down, berita ini mau tidak mau membawa berita yang tidak mengenakkan. Kembali benih-benih perpecahan mengemuka dan ini bisa fatal apabila tidak segera mendapat respons yang benar dan tegas dari pemerintah pusat.

Seharusnya semua pihak harus lebih bijak dalam melakukan segala hal, apalagi yang ada hubungannya dengan hajat hidup orang banyak. Kita ini tinggal di Indonesia, sebuah Negara berdaulat yang memiliki konstitusi yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata oleh para founding father dan semua komponen anak bangsa bahwa kita telah menyepakati bahwa Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 adalah dasar dari segala kebijakan yang telah atau akan diterbitkan kemudian. Para pengambil keputusan atau seluruh komponen bangsa harus kembali dan harus selalu kita ingatkan tentang isi kandungan Sumpah Pemuda. Tidak seorangpun dibiarkan mengambil keputusan atau mengeluarkan perundangan atau peraturan sejenis dibawahnya yang bertentangan dengan konstitusi. Itu melanggar hukum dan batal dengan sendirinya.

Namun kejadian demi kejadian yang melanggar hukum dan berpotensi memecah belah bangsa terjadi begitu saja dan tidak ada tindakan tegas dan segera dari pemerintah pusat. Akibatnya tindakan main hakim sendiri terjadi dimana-mana dan seolah-olah sebagai tuntutan mayoritas masyarakat Indonesia. Seperti ada Negara di dalam Negara. Para pembuat keputusan seperti semau gue dalam mengambil kebijakan demi kepentingan dan popularitasnya. Ini warning yang sangat keras bagi keberlangsungan Republik Indonesia yang kita cintai. Saya ngeri membayangkan negeri kita tercabik-cabik dan terpecah-pecah menjadi beberapa Negara kecil. Entah siapa diuntungkan dengan situasi seperti ini.

Wahai Silent majority sudah saatnya kalian angkat suara, negeri ini diambang kehancuran dihari jadinya yang ke 63. Tak perlu lagi ada pertimbangan popularitas atau apapun. Ini kewajiban yang tidak bisa kita tawar-tawar lagi. Anasir asing terasa kental bermain disini. Walaupun kita dalam kondisi terpuruk kita harus tetap tegar. Mari kita tunjukkan pada dunia bahwa kita tetap solid dan selalu setia menjaga wilayah dan kedaulatan NKRI sampai titik darah penghabisan.

Siang ini sejenak aku tundukkan kepala dan memohon kepada Tuhan agar diberikan satu kesempatan lagi buat kita bangsa Indonesia berbenah diri dan menjadi diri sendiri. Buat para pejuang yang selalu konsisten memperjuangkan amanat Pancasila dan UUD ’45 agar selalu diberikan kekuatan dan ketabahan karena perjuangan masih panjang. Merdeka !!!

(Sabtu pagi di Utan Kayu)

Thursday, September 04, 2008

Rumah Singgah Persaudaraan


Rumahku adalah rumah singgah, ya karena siapa saja bisa singgah di rumahku baik itu sekedar buat ngobrol-ngobrol, nonton tv bareng, berbagi bumbu dapur atau untuk menginap. Siapa saja boleh singgah di rumahku. Bisa saja saudara, teman atau seseorang yang sama sekali tidak aku kenal. Istri dan anakku tidak pernah protes dengan kebiasaanku membolehkan siapa saja singgah di rumahku. Bahkan biasanya istriku malah sibuk memasak masakan yang istimewa kalau pas ada waktu luang. Kalau jadwal kerja istriku lagi padat dia pasti telepon ke pembantu di rumah untuk membeli masakan di warung.

Rumahku atau lebih tepatnya rumah kontrakanku adalah sebuah rumah dua lantai dengan dua buah kamar tidur, satu kamar mandi, satu dapur, satu ruang makan, satu ruang televisi dan 2 ruangan yang aku fungsikan sebagai ruang tamu serta halaman depan yang cukup untuk satu mobil dan 2 motor. Sebenarnya mobil tidak pernah bisa masuk di halaman rumahku karena akses gang masuk ke rumahku sangat sempit, jadi Cuma sepeda motor saja yang bisa parkir di halaman. Lokasinya dikawasan Condet yang konon terkenal dengan dodol Betawi, emping melinjo dan buah salaknya. Untuk sebuah hunian rumahku selayaknya ideal cuma buat keluargaku (istri, anak perempuanku dan seorang pembantu) namun karena seringnya ada penghuni baru maka ruang tidur bisa ada diruangan manapun. Satu kelebihan rumahku ini yaitu bebas banjir. Beberapa kali Jakarta diserbu banjir besar rumahku selalu terhindar. Alhamdulillah.

Siapa saja yang pernah jadi tamu istimewaku? Mereka aku bagi dalam tiga kategori. Kategori pertama adalah tamu spontan, kedua, tamu bertujuan dan yang ketiga adalah tamu tidak bertujuan karena memang tujuannya belum tercapai atau tidak pernah jelas. Mereka mengenal aku karena memang kenal secara fisik (biasanya berasal dari satu kampung), atau kenal lantaran dia ini adalah temannya temanku bahkan ada yang aku sama sekali tidak kenal yang cuma pernah dengar katanya di rumahku siapa saja boleh menginap. Nah …

Tamu tipe pertama adalah tamu spontan, yaitu tamu yang tidak menginap. Mereka datang biasanya untuk mengobrol, nonton televisi bareng, tetangga yang minta difoto atau para pedagang keliling, pengemis, pengamen yang biasanya kecapekan setelah berkeliling dan mengaso di rumahku. Walau rumahku jauh dari kesan mewah tapi mereka rata-rata betah berlama-lama singgah dan selanjutnya bisa kembali lagi kapanpun mereka sempat atau perlu.

Tamu tipe kedua adalah tamu bertujuan. Mereka biasanya datang dari luar kota pergi ke Jakarta untuk sebuah tujuan dan biasanya menginap antara 2 sampai dengan 7 hari. Mereka ini terdiri dari orang-orang yang datang dari daerah-daerah di jawa dan luar pulau Jawa. Mereka ini antara lain adalah para pedagang yang kulakan pakaian atau barang dagangan lainnya untuk dijual kembali di kampung. Ada juga pengrajin daerah yang mengikuti pameran di Senayan atau Kemayoran dengan harapan produk jadinya (handicraft) bisa dikenal masyarakat luas dan yang lebih penting bisa laku laris manis. Selain itu ada pengusaha kecil yang biasanya menyaksikan pameran untuk melihat produk-produk terbaru agar peralatan usahanya tidak ketinggalan jaman. Lain waktu ada beberapa grup band daerah yang ke Jakarta untuk manggung atau mencari produser buat mempromosikan kepiawaiannya dalam berolah musik. Namun yang paling sering adalah para pelamar kerja yang datang buat interview atau sudah diterima kerja tapi belum mendapatkan tempat kost. Tipe ini biasanya tidak terlalu merepotkan karena biasanya mereka cuma numpang tidur setelah di siang hari sibuk dengan aktivitasnya di luar.

Tipe ketiga adalah tamu tidak bertujuan. Mereka biasanya datang dengan sebuah harapan namun tidak dibarengi dengan skill yang memadai alias bonek. Mereka ada yang datang dan bermimpi jadi musisi, ada yang bermimpi jadi koki handal bahkan ada yang setiap hari kalau ditanya tujuannya bisa berubah-ubah. Mereka ini singgah di rumah antara 1 bulan hingga ada yang mencapai setahun.

Diantara para pesinggah ini ada yang kehadirannya bisa meringankan pekerjaan-pekerjaan rumah namun tidak jarang ada yang justru membebani kami dengan permasalahan mereka. Pernah suatu kali ada pesinggah yang karena frustasi lantaran tidak juga mendapat pekerjaan yang diinginkan tiba-tiba saja menjadi orang yang sangat taat dalam menjalankan ritual keagamaan. Belum cukup sampai disitu, dia bergabung dengan aliran garis keras. Mendadak dia merombak diri mulai dari cara berpakaian yang biasa-biasa saja menjadi yang sangat Arab sekali. Belum lagi bau parfumnya, menyengat dan aromanya masih tercium walaupun orangnya sudah pergi selama setengah jam. Istriku suka pusing dan mual kalau terbaui. Siang hari disaat kami ke kantor dia biasanya mengumpulkan kelompok pengajiannya yang rata-rata berjenggot panjang dan bersorban. Dia berencana hendak berangkat ke Pakistan untuk berjihad. Para tetangga memprotes istriku karena kejadian ini. Untuk menghindarkan dari hal-hal yang tidak kami inginkan akhirnya aku pulangkan dia ke kampung halamannya. Ada juga yang karena sungkan atau malu dia selalu menolak kalau ditawari makan dengan alasan sudah makan di luar. Aku tidak percaya alasannya karena setiap kali mau berangkat melamar kerja pasti istriku yang memberi ongkos transpotasinya. Aku khawatir terhadap kondisi kesehatannya. Namun tidak berapa lama teka-tekinya terjawab. Suatu kali salah seorang pesinggah lain mendapati dia pada tengah malam sedang meringkuk di bawah meja di dapur. Rupanya tiap tengah malam dia masuk ke dapur untuk makan secara diam-diam. Masih banyak cerita-cerita lain yang kadang jenaka, kadang membuat kening berkerut terjadi di rumah singgahku.

Kami sebenarnya bukan orang yang berlebih dari segi penghasilan namun entah dari mana selalu saja ada rejeki halal yang mengalir buat mencukupi kebutuhan hidup para pesinggah. Istriku adalah seorang guru privat bahasa Inggris dan aku selain mengelola Event Organizer kecil juga menambah penghasilan dari menulis cerita anak-anak. Penghasilan kami tidak menentu. Namun Tuhan selalu saja membantu kami dengan caranya yang menakjubkan dan misterius. Kami selalu dicukupkan. Bahkan dalam dua tahun terakhir kami bersama seorang teman di Ciganjur memiliki tidak kurang dari 50 orang anak asuh yang rata-rata berusia sekolah Dasar dan Menengah. Setiap hari minggu istriku memberikan pelajaran bahasa Inggris buat mereka dengan harapan bisa berguna kelak.

Hidup ini memang misteri, tidak bisa seperti hitungan matematika, selalu ada hal-hal yang tidak kita duga dan pahami terjadi. Namun satu hal yang ingin kami bangun bersama istri adalah membangun suatu iklim persaudaraan dan cinta kasih kepada siapa saja tanpa memilih-milih gender, ras, kedudukan sosial atau agama. Mereka, bagi kami adalah saudara, mereka adalah nafas hidup kami, Mereka adalah semangat kami. Dan kami berharap dan selalu berdoa semoga para pesinggah dapat menemukan tujuan hidupnya kelak.

Pada suatu malam aku bermimpi membeli tanah yang cukup luas dan disitu kami bangun barak-barak sederhana tempat para pesinggah mengolah hari dan harapan. Kini kami berusaha mewujudkan mimpi tersebut. Entah kapan akan bisa terealisasi. Tuhan punya rencananya sendiri dan kapanpun dibutuhkan kami siap menjalankan amanahNya.


Wednesday, September 03, 2008

Rombak dunia pendidikan kita sekarang juga

Menyoroti dunia pendidikan kita yang kelam, ada satu kesalahan besar yang dibiarkan berjalan sebagai kebenaran semu, bahwa disini kita ‘belajar untuk sekolah dan bukan untuk hidup’. Para pembuat kebijakan (pemerintah), pendidik (guru), dan sebagian besar orang tua menganggap bahwa murid telah berhasil apabila “IQ” nya tinggi atau nilai-nilai mata pelajarannya selangit. Dari sikap dan cara pandang seperti itulah maka pembuat kebijakan menentukan segala hal mulai dari kurikulum, metode pengajaran, ujian sampai dengan hal-hal yang remeh temeh seperti kerapian penampilan, seragam dan lain-lainnya. Begitu juga para guru dengan pengetahuan (yang sebagian besar) minim mereka menjejalkan materi seperti keinginan Depdiknas. Dan ironisnya para orang tua mengamini semua tanpa pernah mempertanyakan kefektifannya.

Begitulah waktu berjalan, para guru sibuk menjejalkan teori dan hafalan. Komunikasi berjalan satu arah, para murid menerima semua dengan atau tanpa beban. Para orang tua menanti-nanti hasil akhir serapan dalam bentuk nilai (rapor) dan kelulusan. Keberhasilan semu yang menghasilkan lulusan yang jauh panggang dari api, tidak match dengan kebutuhan. Ada kesenjangan serius antara kebutuhan dunia kerja dengan pendidikan kita. Hasilnya bisa kita lihat bersama, kebutuhan pasar kerja diisi oleh para lulusan sekolah bertaraf internasional dan lulusan luar negeri. Para alumni kita cukup sebagai pekerja kasar dan sebagian besar sebagai penonton pasif bergelar pengangguran intelektual.

Mau menunggu apa lagi untuk merubah diri. Lihat dunia pendidikan kita dari segi daya saing dan kualitas selalu diurutan buncit dan selalu jadi anak bawang (hasil-hasil survey yang pernah dilakukan menunjukkan itu). Sekarang saatnya merubah paradigma yang terlanjur keliru. Satu hal yang perlu dipahami bahwa tujuan pendidikan adalah menghasilkan pribadi mandiri sehingga masing-masing mampu menata kehidupan dan penghidupannya dalam situasi dan kondisi hidup yang nyata dimasyarakat (tantangan lokal maupun global) serta perkembangannya. Seperti kata Howard Gardner, seorang peneliti dari Harvard University bahwa keberhasilan seseorang di dalam hidup bukan ditentukan oleh IQ tetapi terlebih oleh EQ (kecerdasan emosional dengan kompetisi inter- dan intrapersonal), disamping ada kecerdasan lain yang juga berperan seperti SQ dan AQ.

Untuk merealisasikan perubahan yang mendasar diperlukan komunikasi yang intens mulai dari pengambil kebijakan, masyarakat, para guru, orang tua dan murid itu sendiri. Para pengambil kebijakan harus merubah aturan-aturan yang ada secara menyeluruh sampai pada substansi. Diharapkan bisa mengembangkan variasi metode pendidikan dan system pengajaran yang lebih komunikatif, variatif dan sesuai kebutuhan serta tantangan jaman (diantaranya mulai mengurangi kurikulum padat menjadi kurikulum komunikasi aktif dua arah). Guru juga harus memaksimalkan potensi dan kualitasnya dengan atau tanpa bantuan pemerintah untuk mengambil tambahan pendidikan setingkat S1 dan S2. Tenaga pengajar diharapkan juga diisi oleh generasi kelas wahid bukan generasi kelas gurem. Sedang para orang tua diharapkan bisa mendeteksi potensi anak-anaknya sejak dini dan menyalurkan sesuai minat dan bakatnya. Akhirnya, siswa sebagai pelaku langsung diharapkan bisa memaksimalkan potensi dirinya sehingga bisa bersaing dan mengisi lapangan kerja yang ada atau bahkan menciptakan lapangan kerja baru.

Sudah saatnya dunia pendidikan kita menempati peringkat atas dari segi kualitas di kawasan Asia bahkan dunia, jangan melulu korupsi dan kemiskinan saja yang selalu menempati peringkat wahid.

Relung Renung Ramadhan


Begitu cepat waktu melangkah

Jauh meninggalkan aku yang sibuk mencari bentuk

Siang malam selapis pandang

Berganti berkejap tak ada tema


Wahai kehidupan, semakin jauh kuikuti langkahmu

Semakin tak menentu arah menuju

Derap langkahmu semakin lamat semakin senyap

Aku tak bisa mengejarmu


Dini hari, oh dini hari

Kuserap dingin embunmu merasuk sukma

Kucoba eja setiap tetesmu

Namun hanya gema rindu sampai telinga


Disunyimu aku mendengar jutaan suara

Lalu-lalang melayang-layang

Sulit menyimpulkan dalam rangkaian kata indah

Apalagi bermakna


Duh Gusti, jejakmu berdarah-darah

Mewariskan sejarah hampa dan amarah

Kehendakmukah yang terjadi

atau suaramu tak sampai ke rasa


Nyanyi jiwa putus asa

Berjalan sunyi tanpa kawan

Sendiri mencoba merangkai harapan

Berharap menangkap kebenaran bukan bayangan