WIWIN DONGENG MANAGEMENT

Friday, April 08, 2011

NYARIS TEWAS

Prolog : tulisan ini aku tulis pada tahun 2008, 12 tahun setelah kejadian nyaris tewas di lautan. Tulisan ini aku tampilkan lagi karena tiba2 aku teringat kejadian tersebut dan berharap bisa memberi makna kepada para sahabat yang membaca. Selamat membaca .....

Pada tahun 1996, aku menyewa sebuah kapal motor bernama Prima Jaya 3, dari Pontianak menuju Jakarta. Saat itu aku adalah pedagang buah kelapa yang komoditinya aku borong dari daerah Jeruju Besar, Tanjung Saleh dan sekitarnya (daerah Kalimantan Barat)untuk dijual ke Pasar Induk Kramat Jati Jakarta. Waktu itu aku membawa sekitar 18.000 buah kelapa. Selain itu juga membawa puluhan lukisan karya pak Agus (seorang pelukis asal Pontianak) untuk dititipkan pada salah satu gallery yang juga ada di Jakarta. Sebagai pemilik komoditi, aku ikut kapal untuk menjaga jangan sampai terjadi sesuatu atasnya. Sekitar pukul 1 siang dibulan Oktober 1996 (aku lupa tanggalnya) kapal perlahan melaju. Aku masih sempat melihat istri dan anakku melambaikan tangan dari kejauhan. Entah kenapa kali itu aku merasakan satu kerinduan yang aneh pada mereka, padahal kapal baru saja lepas dari pelabuhan. Dadaku berdegup tak beraturan dan tanpa terasa air mataku menetes. Padahal ini bukan pertama kalinya aku meninggalkan mereka. Aku balas lambaian tangannya, lemah.

Biasanya aku mengirim buah kelapa dengan menggunakan jasa PT Soppeng Pontianak dan komoditi dikirim via Kapal Samudera Indonesia serta dikemas dalam sebuah Container 20 feet. Namun karena seorang nahkoda kapal yang sekaligus kawan dari Malang menawarkan kapalnya buat mengangkut buah kelapaku, aku langsung menyetujui untuk menghindarkan kerugian dipihaknya karena kapalnya belum penuh dan dia harus segera berangkat ke Jakarta.

Awalnya semua berjalan lancar. Satu hari yang indah, laut tenang, ufuk kemerahan dan lumba-lumba mengiringi kepergianku. Seharian bermalas-malasan, makan dan baca buku. Awak kapalnya baik-baik, mereka bercengkerama dan bercanda seperti keluarga. Aku punya 2 orang teman seperjalanan, yang satu pedagang jeruk sambal khas Pontianak, dia berasal dari Medan. Dan satu lagi seorang penumpang asal Pontianak keturunan Tionghoa yang hendak ke Jawa untuk menengok istrinya yang asal Yogjakarta hendak melahirkan. Dalam satu hari perjalanan kami menjadi sangat akrab dan untuk sementara perasaan galau diawal perjalanan bisa aku tepis.

Hari kedua perjalanan mulai ngadat, kapal mulai sering mogok namun para ABK selalu menghiburku dan mengatakan hal seperti ini sudah biasa mereka jalani. Aku yakinkan diriku bahwa ‘everything it’s ok’. Toh para ABK sejauh ini juga sehat-sehat saja setelah bertahun-tahun berlayar bersama kapal ini. Sore hari hujan angin mulai menyambangi namun Alhamdulillah malam hari hujan reda. Tengah malam kapal mogok lagi.

Hari ketiga adalah hari yang sangat berat. Pasalnya kapal mogok lama sekali dan cuaca mulai tidak bersahabat. Langit mulai gelap, petir menyambar-nyambar dan gelombang laut menggila. Kami tidak bisa lagi makan dengan nyaman, kalau nggak makanan tumpah karena liukan kapal juga makanan yang sudah kami telan pasti keluar lagi dalam bentuk muntahan. Seharian aku muntah beberapa kali hingga tersisa hanya air pahit yang keluar dari mulutku. Baru kali ini aku merasakan mabuk laut setelah bertahun-tahun aku menjalani hari-hariku pulang balik Jawa Kalimantan. Malam hari keadaan semakin bertambah berat, kapal oleng tidak tentu arah dan mulai miring ke kanan. Nahkoda datang menemuiku untuk minta maaf dan sekaligus minta ijin untuk membuang ke laut sebagian buah kelapaku. Sambil tersenyum aku persilahkan kepada para ABK melaksanakan perintah sang nahkoda. Perut yang sedari tadi serasa dikocok-kocok kini bertambah mulas lantaran kerugian yang pasti ada didepan mata. Pukul 3 dini hari kondisi bukannya membaik malah semakin memburuk, kapal semakin miring kekanan. Salah seorang ABK tergopoh-gopoh lari ke atas geladak dan berteriak, “ruang mesin bocor !!!”. Untuk sesaat bulu kudukku meremang, pikiran berputar-putar berkecamuk tidak tentu arah. Pandangan kosong. Tiba-tiba teman Tionghoaku mengagetkanku dengan menyodorkan sebuah rompi penyelamat. Sekilas aku lihat para ABK menembakkan beberapa tembakan SOS namun aku tidak yakin akan ada yang melihat tanda-tanda tersebut. Yang lebih gila lagi ternyata radio panggil yang ada dalam kondisi rusak. Wow …. Untuk sesaat aku pandangi barang-barangku dan meninggalkannya.

Sekitar pukul 4 pagi nahkoda memerintahkan kami melompat ke laut. Kemiringan kapal sudah tidak dapat ditoleransi lagi. Kami dibagi-bagi dalam beberapa kelompok yang akan berpegangan pada pelampung dan jerigen kosong. Setiap kelompok ada 5 sampai 6 orang. Kami dibagi dalam 3 kelompok. Seorang koki yang kebetulan waria tidak berani melompat ke laut dan bertekad bertahan di kapal. Kami hanya memandangi ketakutan si koki yang semakin lama semakin jauh terlihat. Gelombang laut seperti marah, diayun-ayunkannya kami kesegala arah. Berkali-kali nyawaku seperti mau tercerabut keluar dari raga lantaran hempasan gelombang yang mencapai 6 meter, mirip seperti naik roller Coaster di Dufan. Keadaan diperparah dengan guyuran hujan yang sangat lebat. Lengkap sudah derita ini.

Siang hari hujan masih mengguyur, kami masih sempat bergurau dan tertawa-tawa. Lama-kelamaan senyap, masing-masing bermain dalam imajinasi berbeda. Jarak setiap kelompok semakin jauh dan akhirnya hilang dari pandangan mata. Untuk sesaat ada secercah harapan, di kejauhan tampak 2 kapal melintas, terlihat sebesar buah apel. Dengan semangat ‘45 kami melambai-lambai dan berteriak meminta pertolongan. Lantaran jarak yang jauh harapan tinggal harapan dan kesunyian kembali menyelimuti kami lagi. Tersisa hanya tenggorokan yang kering dan serak.

Beberapa kali aku sempat tertidur karena keletihan namun aku berusaha untuk selalu melek. Seandainya harus mati aku mau dalam kondisi terjaga, bukan dalam kondisi tertidur. Aku teringat sempat menyelamatkan tas kecil yang berisi beberapa roti manis dan “teman-teman seperjalanan” yang sudah pada kelaparan mulai bersemangat lagi. Namun ketika roti kami makan bukan kenikmatan yang diperoleh malah tenggorokan semakin tercekik. Dengan berat hati kami buang roti-roti tersebut. Kembali kami dalam lamunan dan perut kosong.

Hari kedua terapung di laut adalah hari yang terindah dalam hidupku. Kapal tanker yang melintas jauh yang kami kira tidak melihat keberadaan kami ternyata berputar berbalik arah dan mengarah ke kami. Dengan sebuah perahu motor yang aneh bentuknya, berbentuk bulat dan tertutup (maklum baru kali itu melihat prototype perahu penyelamat seperti itu) kami berlima dimasukkannya. Kapal “De Ja Bum” namanya, sebuah kapal tanker asal Thailand yang baru dari Jakarta hendak menuju Korea Selatan yang berjasa kepada kami. Digeladak kapal kami spontan saling berpelukan. Tangis dan tawa bercampur menjadi satu. Hari itu juga kami ikut kapal tersebut dan diturunkan di Singapore.

Keesokan harinya setelah dirawat seperlunya disebuah rumah sakit, kami dititipkan kapal tanker asal Indonesia (aku lupa namanya) menuju Jakarta. Di Jakarta kami di terima petugas pelabuhan dan diketemukan dengan beberapa wartawan cetak dan elektronika. Aku membayangkan diriku muncul di berita sore dan tampak seperti pengungsi Vietnam yang waktu itu sering terdampar di Indonesia. Namun hanya ada satu kata yang terucap lirih dari peristiwa ini, yaitu “bersyukur”.

Sebagai catatan, dalam kondisi seperti tertulis di atas, batas antara hidup dan mati jadi sangat tipis. Sampai sekarang aku masih tidak percaya dengan peristiwa ini. Pada saat membayangkan kembali malah justru seperti menonton sebuah film atau seperti kita melamun. Tidak terasa sama sekali sebagai sebuah realita. Aku seakan-akan diletakkan dalam sebuah wadah besar yang menjagaku dari tenggelam atau celaka dimangsa ikan hiu. Tidak pernah terlintas sedikitpun perasaan was-was atau takut, yang ada kepasrahan dan hati yang tenang. Inilah buah dari kekuatan doa. Doa dari orang yang hopeless mungkin lebih bertuah dari pada doa-doa yang kita panjatkan sehari-hari yang kadang hanya sebagai kerutinan selepas sholat. Dalam hidup kita mesti punya sebuah keyakinan, tanpanya kita jadi lemah, tanpa arah dan tanpa tujuan.

Sebuah peristiwa bisa jadi mendewasakan kita atau justru membuat kita semakin sibuk menyalahkan kanan-kiri demi sebuah pembenaran pribadi. Seburuk apapun sebuah kejadian yang menimpa kita bukanlah sebuah kebetulan belaka melainkan semacam pelajaran yang akan memperkuat kepribadian dan cara pandang kita ke depan.

Setelah 12 tahun peristiwa di atas tiba-tiba saja aku teringat peristiwa tersebut dan berusaha mengingat teman-teman ABK, pedagang jeruk sambal dan teman Tionghoaku. Entah dimana mereka sekarang berada. Harapanku semoga mereka bisa menjalani kehidupan dengan lebih baik setelah peristiwa itu. Kokiku yang malang aku mendengar berita tentang tewasmu, semoga Tuhan menerimamu sebagai seorang pelaut sejati yang rela mati demi sebuah tugas dan pengabdian. Khusus buat Mr. Nahkoda dan teman-teman ABK, teruslah berlayar, hidup dan matimu ada di lautan, teruslah berjaya di laut seperti masa lampau. Negeri ini membutuhkan orang-orang sepertimu, penjaga kedaulatan negeri.