WIWIN DONGENG MANAGEMENT

Tuesday, January 27, 2009

Tikus


Sudah satu minggu belakangan ini rumahku kedatangan tamu tidak diundang, dia adalah seekor tikus. Tidak besar sih bahkan tidak sampai sebesar kepalan tangan orang dewasa tapi seisi rumah heboh dibuatnya. Memang dari dulu kami paling benci dengan binatang yang satu ini karena perangainya yang tidak simpatik. Dia bisa dengan seenaknya mencuri makanan yang hendak kami santap. Lantaran makanan sudah diacak-acak mau nggak mau akhirnya makanan kami buang ke tempat sampah. Kami pun mengalah dan pergi tidur dengan perut kosong. Sejak saat itulah kami ikrarkan perlawanan terhadap spesies yang satu ini. Belum lagi istriku pada dasarnya takut dan jijik terhadapnya maka lengkaplah sudah kredo permusuhan diantara kami dengan binatang pengerat laknat tersebut.

Tentang tikus yang kami sebut diawal tulisan gerakannya sangat gesit dan sulit dikejar. Dia seperti hantu gentayangan yang setiap saat menteror seisi rumah. Dari lantai satu sampai lantai dua rumah sudah dibongkar namun aneh bin ajaib dia seolah raib dan menghilang begitu saja. Lantas kami anggap mungkin ada jalan keluar rahasia yang kami belum temukan. Pencarian pun berakhir dengan kekecewaan. Beberapa hari kemudian disaat lengah dia muncul lagi dan mengejutkan kami. Perburuan baru pun dimulai dan lagi-lagi kami gagal menangkapnya. Bahkan lem tikus tidak pernah dia sentuh seakan dia bisa membaca pikiran seluruh keluarga kami. Perangkap lem akhirnya kami buang karena yang terperangkap justru malah cicak yang tugasnya mengamankan rumah dari serangan nyamuk. Salah sasaran.

Malam ini adalah puncak kekesalan kami terhadap si tikus. Dia menggondol pancake buatan istriku yang hendak dipersembahkan buat putriku yang sejak beberapa hari ini sangat ingin menyantap kue kesayangannya. Malam ini istriku baru sempat membuatkan pancake karena bertepatan dengan hari libur tahun baru Imlek maka dibuatlah kue istimewa tersebut dan dihidangkan di atas meja. Belum sempat kami mencicipinya pancake sudah diembat. Anabel putriku sedih sampai menitikkan air mata lantaran keinginannya untuk mencicipi pancake tertunda lagi. Sontak darahku mendidih, “malam ini harus aku tangkap hidup-hidup dan akan aku sengsarakan dia sampai akhir hidupnya”, teriakku geram. Malam ini juga aku dan istriku keliling condet untuk membeli jebakan tikus. Setelah berkeliling ke beberapa toko akhirnya kami dapatkan juga sebuah jebakan tikus terbuat dari kawat kasa yang cukup tebal seharga dua puluh ribu rupiah. Diam-diam aku tersenyum lega, “habis kamu malam ini …”.

Ketika kami semua hendak berangkat keperaduan, aku sempatkan memasang jebakan tikus. Umpannya tidak tanggung-tanggung, sepotong besar bandeng presto. Hidangan penutup, the last supper. Sekitar pukul setengah satu dini hari aku mendengar jebakan bekerja, suaranya cukup untuk membangunkan tidurku. Aku keluar kamar dan kudapati seekor tikus di dalam jebakan. Matanya tajam menatapku dan kubalas dengan tatapan tajam kematanya. Sejenak kami berpandangan dan aku menang. Si tikus blingsatan didalam perangkap berupaya mencari jalan keluar namun usahanya sia-sia. Aku masuk kembali ke dalam kamar dan melanjutkan mimpi yang terpenggal. No way out …

Keesokan paginya aku bangunkan anak dan istriku agar melihat dan memuaskan kemarahannya pada si tikus. Aku agak kecewa karena mereka ternyata tidak antusias menanggapi keberhasilanku menangkap the family enemy. Bahkan Anabel melirik sekejap dan masuk kamarku untuk meneruskan tidurnya. Kekecewaanku bertambah lagi ketika aku berdebat dengan istriku tentang bagaimana cara memusnahkan si tikus. Aku berharap dia dibakar atau direndam saja di dalam air biar dia merasakan kemarahanku yang selama ini tak bisa terlampiaskan. Antusiasku ternyata mencapai antiklimaks ketika istriku mengajukan pendapat yang benar-benar diluar dugaan. “Lepaskan saja di luar teras biar dia pergi dan tidak balik ke rumah kita lagi. Toh dia cukup jera dengan terperangkap disitu.”, cerocos istriku seolah tidak mau memahami kekecewaanku. Percuma berdebat dengan istriku dia selalu kekeh dengan keyakinannya. Akhirnya aku masuk ke rumah dan merenungkan makna saling memaafkan yang selama ini sering aku khotbahkan kepada istriku agar dia selalu membuka pintu maaf kepada siapa saja.

Sampai siang hari si tikus masih di dalam perangkapnya, aku belum jua merelakan dia bebas pergi. Dendam itu masih mengusik dan mengompori perasaanku agar aku tidak sudi memafkannya. Sementara itu aku masih termangu di ruang tamu, mulai berhitung antara melepas atau membunuh sang pesakitan. Namun ketika hitungan jatuh pada melepaskan maka hitungan kuulang dan kuulang lagi sampai hitungan jatuh pada kata membunuh. Demi sebuah kepuasan, demi sebuah dendam …

Condet, 27 Januari 2009

No comments: